Anak Agung Gde Agung Dorong RUU tentang Bahasa Daerah, Perjuangkan Formasi Guru Bahasa Daerah

02 Januari 2024 oleh bali

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bahasa Daerah saat ini tengah menjadi perhatian dari Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia. Seperti diketahui, RUU tentang Bahasa Daerah telah disusun oleh DPD RI pada tahun 2015 silam. Anggota DPD RI Provinsi Bali, Anak Agung Gde Agung pun sangat getol untuk memperjuangkan agar RUU tentang Bahasa Daerah bisa segera dijadikan Undang-Undang. Hal ini dilihatnya dari permasalahan yang dihadapi di Bali selama masa reses tahun 2022 lalu.

“Saya bertemu dengan kalangan dunia pendidikan, mulai dari Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bali, pihak sekolah, hingga guru negeri maupun swasta. Salah sau permasalahnnya mereka adalah tidak adanya formasi guru bahasa daerah,” tuturnya, kemarin (26/11/2023). Diakuinya memang ada kebijakan Provinsi Bali untuk mengangkat guru honorer sebagai guru bahasa daerah. Tetapi sifatnya bukanlah guru tetap. Beberapa sekolah juga menempatkan guru kesenian maupun guru agama untuk mengajar bahasa daerah, yang notabene bukan formasinya.

Pihaknya melakukan diskusi panjang dengan para pelaku dunia pendidikan dan akhirnya diteruskan pada Menteri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, Nadiem Makarim. “Ini bukan permasalahan di Bali saja, beberapa wilayah di Nusantara itu tidak ada formasi guru bahasa daerah. Sehingga pada saat itu, alangkah baiknya kalau dalam pengangkkatan PPPK sudah ada formasi guru bahasa daerah di dalamnya,” kata Gde Agung. Usulan ini pun disambut baik oleh Menteri Nadiem Makarim, hanya saja di tahun berikutnya belum berhasil direalisasikan karena beberapa hal.

Komite III DPD RI kemudian mengadakan rapat dan bersepakat untuk mengangkat RUU tentang Bahasa Daerah yang sudah ada sejak tahun 2015, dengan dilengkapi kajian dari aspek sosiologis, filosofis, hingga yuridisnya. Hingga akhirnya muncul Surat Presiden tertanggal (7/7/2023) kepada badan legislatif yang menugaskan Mendikbudristek, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Hukum dan HAM untuk bersama-sama maupun sendiri-sendiri guna mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU tersebut.

“Kami dari DPD RI menindaklanjuti dan kita diundang oleh DPR RI pada Rapat Kerja Komisi X untuk membahas RUU tentang Bahasa Daerah yang sudah terlaksana pada (22/11/2023),” jelasnya. DPD RI diikuti oleh Anak Agung Gde Agung (Bali); Eni Khairani (Bengkulu); H. Abdi Sumaithi (Banten); H. Djafar Alkatiri (Sulut); Ajbar (Sulbar); Herry Erfian (Kep. Babel); H. Muhammad Gazala (Riau); M. Sum Indra (Jambi); Asyera Respati A. Wundalero (NTT); dan Lily Amelia Salurapa (Sulsel).

Adapun landasan filosofis yang dipaparkan dari RUU ini berdasarkan pada ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.’” Selanjutnya pada Pasal 32 ayat (2), ditegaskan bahwa “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Maka dengan adanya ketentuan tersebut di atas, kedudukan bahasa baerah sebagai kekayaan budaya bangsa sangatlah kuat karena memiliki landasan konstitusional.

Secara sosiologis, dipaparkannya bahwa dinamika serta tuntutan era globalisasi dunia saat ini telah memberikan dampak pada penggunaan bahasa daerah. Bahkan bahasa daerah mulai ditinggalkan penggunaannya dalam pergaulan antar kelompok atau komunitas yang sangat luas, kecuali penggunaannya dalam keluarga. Kondisi ini berdampak pada kepunahan bahasa daerah. Menurut data Lembaga Bahasa Ethnologue, saat ini Indonesia memiliki 704 bahasa daerah yang masih hidup. Dengan rincian 17 bahasa masih melembaga (digunakan secara aktif); 251 bahasa dalam kondisi stabil; 436 bahasa daerah terancam bahaya (punah); dan 14 bahasa daerah sudah punah. Dari landasan yuridis, DPD RI menegaskan bahwa amanat Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) belum dilaksanakan sepenuhnya oleh negara. Sehingga tindakan negara dalam menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional belum nyata terlihat.

“Yang harus didalami di sini memang bahasa daerah itu adalah suatu kekayaan bangsa kita, warisan budaya bangsa kita yang adiluhung. Kita harus pertahankan untuk bisa melestarikan warisan budaya kita, bahasa daerah harus kita kuasai. Suatu hal yang sangat ironis di sekolah kita tidak ada guru bahasa daerah,” ujar Penglingsir Puri Ageng Mengwi ini. Lebih lanjut, RUU tentang Bahasa Daerah disambut baik oleh Komisi X DPR RI dan masuk dalam daftar RUU Prolegnas Perubahan Kedua Prioritas Tahun 2023 dengan nomor urut 37. “Ini satu hal kemajuan yang luar biasa. Sekarang kita menunggu tim dari pemerintah untuk penugasan presiden untuk dibahas antara DPD RI, DPR RI, dan pemerintah,” sambungnya.

Ke depannya, ia akan kembali bertemu dengan pelaku di dunia pendidikan untuk kajian ilmu dalam melestarikan bahasa daerah. Di antaranya melindungi, membina, dan mengembangkan bahasa daerah itu sendiri. Terlebih kondisi di Bali yang sangat kompleks dengan adanya lontar, prasasti, dan kajian-kajian budaya lainnya yang masih memakai bahasa daerah. Sehingga menjadi penting RUU tersebut dijadikan UU dalam rangka pelestarian budaya, mempertahankan warisan leluhur, dan mempertahankan kearifan lokal. Dengan harapan, RUU tersebut bisa menjadi UU sebelum selesai masa jabatannya.