Rai Mantra: Kuatkan Perekonomian Desa Adat, LPD harus Bertransformasi dan Direkalibrasi

24 Desember 2024 oleh bali

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) harus mampu bertransformasi melalui rekalibrasi, reinterpretasi, reinteraksi, dan adaptasi agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat moderen.

Hal itu diungkapkan Anggota DPD RI asal Bali, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra saat menjadi salah satu narasumber Forum Diskusi Nasional yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali menggandeng Forum Media Peduli LPD bekerja sama dengan Badan Kerja Sama LPD (BKS-LPD) dan Lembaga Pemberdayaan LPD (LP-LPD) Provinsi Bali dengan tema, “Sinergitas Penguatan Ekonomi Desa Adat Bersama LPD” dilaksanakan di Gedung PWI Bali, Rabu (18/12/2024).

Dalam diskusi yang dimoderatori Pemred barometerbali.com I Gusti Ngurah Dibia itu juga menghadirkan narasumber lainnya antara lain Kapolda Bali diwakili Panit 2 unit 3 Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Bali, Ipda Si Ngurah Putu Kusumayadi; Kajati Bali diwakili Kasi II Bidang Sosial Politik Kejati Bali, Anak Agung Jayalantara; Ketua Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali diwakili Patajuh Baga IV Bidang Ekonomi MDA Bali, I Ketut Madra; serta Kadis Pemajuan Masyarakat Adat (PMA) diwakili Kabid Pembinaan Perekonomian Desa Adat Dinas PMA Provinsi Bali, Kadek Doni Raditya dan Wayan Gata selaku saksi sejarah berdirinya LPD, diselenggarakan serangkaian peringatan 40 tahun perjalanan Lembaga Perkreditan Rakyat (LPD).

Lebih lanjut Rai Mantra menekankan pentingnya strategi penguatan karakteristik perekonomian Bali berlandaskan kearifan lokal. LPD adalah perpaduan nilai tradisi dan manajemen modern.

“LPD merupakan lembaga keuangan yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat adat melalui desa adat. Tujuan utama LPD, seperti yang dirumuskan oleh Prof. Mantra pada 1984, adalah membantu desa adat di Bali dalam menjalankan fungsi-fungsi kulturalnya,” papar putra tokoh pendiri LPD alm Prof Dr Ida Bagus Mantra ini.

Ia berpandangan, perlu ada perbaikan tata kelola LPD, sebab tidak sedikit pengurus LPD bergaya mewah sedangkan yang menyimpan dana adalah pelaku UMKM yang mengejar upah harian, sehingga muncul rasa ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap keberadaan LPD dan Bendesa.

“Permasalahan tata kelola di dalam LPD, disebabkan karena ketidakharmonisan antara bandesa (adat) sebagai ex-officio dan pengurus LPD, sehingga timbul suatu ketidakjujuran dalam akuntabilitas keuangan LPD,” jelas mantan Wali Kota Denpasar ini.

Ia juga menilai, kesadaran masyarakat tentang hakikat LPD juga masih belum optimal. Banyak yang tidak paham LPD adalah lembaga hybrid yang mengawinkan nilai tradisi dan manajemen modern dalam tata kelolanya. LPD berbeda dengan lembaga keuangan perbankan. LPD bukan business enterprise murni, terdapat nilai sosio-kultural di dalamnya. Jadi jangan menambah core bisnis dalam LPD,” tandasnya.

Rai Mantra menegaskan LPD tidak akan bisa sebesar lembaga keuangan lainnya, karena levelnya ada di skala mikro sementara tujuan LPD adalah membantu desa adat dalam menjalankan fungsi kulturalnya.

“Ketika LPD ingin besar maka harus berada pada level Meso (tingkat menengah yang berada di antara tingkat mikro dan makro-red). Jika mengembangkan core bisnis, yang terjadi adalah perilaku koruptif di tataran pengurus dan prajuru adat,” pungkas Rai Mantra.

Kajati Bali diwakili Kasi II Bidang Sosial Politik Kejati Bali Anak Agung Jayalantara mengingatkan dari berbagai kasus LPD perlu ada tata kelola yang matang. LPD kita sepakat perlu dijaga sebagai aset untuk menopang adat dan budaya. Namun ruang lingkup LPD belakangan semakin meluas.

Nasabah LPD menyentuh hingga di luar masyarakat di suatu wilayah desa adat, bahkan WNA. Ketika ada kasus kredit macet atau dana nasabah tidak bisa dikembalikan bagaimana mekanisme tanggung jawab pengurus untuk mengembalikan dana masyarakatnya.

“Saat ini yang bisa “mempailitkan” LKM (Lembaga Keuangan Mikro) dalam UU Penguatan Ekonomi Perbankan adalah OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Namun, karena LPD dikecualikan, maka kreditur bisa mengajukan pailit, cukup bahaya bisa -bisa aset LPD melayang,” terang Jayalantara.

Pihaknya menyarankan, ⁠jika ingin berdiri dalam level makro, yang harus dikembangkan adalah BUPDA (Badan Usaha Padruwen Desa Adat) dengan membentuk LK (Lembaga Keuangan) berbadan hukum seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat) sehingga mampu menampung aset yang lebih besar.

Patajuh Baga IV Bidang Ekonomi MDA Bali, I Ketut Madra pada kesempatan tersebut memberikan sejumlah rekomendasi MDA kepada desa adat untuk penguatan perekonomian desa adat itu sendiri.

“Desa adat perlu membuat pararem dan menyusun aturan-aturan yang berkaitan dengan penguatan perekonomian adat baik dari sisi ekonomi keuangan (LPD) maupun sektor riil seperti BUPDA,” saran Madra yang juga mantan Ketua LPD Desa Adat Kedonganan ini.

Ia merinci dasar penyusunan yakni Keputusan Pesamuan Agung MDA II Bali Tahun 2021 Nomor: 04/KEP-PSM.II/MDA-BALI/X/2021. Hasil Paruman Agung MDA II Bali Tahun 2024 tanggal 5 Agustus 2024 tentang Pedoman Penguatan Labda Pacingkreman Desa Adat (LPD) di Bali.

Selanjutnya Kabid Pembinaan Perekonomian Desa Adat Pemajuan Masyarakat Adat ( PMA) Provinsi Bali I Kadek Doni Raditya menerangkan, lemahnya tata kelola LPD sejauh ini menjadi pemicu berbagai kasus LPD bermasalah di Bali.

“Kelemahannya belum banyak LPD memiliki perarem yang mengatur tata kelola LPD yang dipayungi oleh awig-awig sesuai Perda Provinsi Bali ini yang sedang kita dorong kepada seluruh desa adat di Bali,” cetus Doni.

Ia memaparkan, ada kesenjangan dalam penerapan tata kelola LPD. Pertama kesenjangan regulasi, awig-awig, perarem dan turunanya yang mengatur, mengawasi dan mengelola LPD.

“Belum semua LPD memilikinya,” singgungnya.

Terdapat pula kesenjangan kelembagaan yaitu penerapan tata kelola moderen, kompetensi SDM hingga teknologi.

“Selain itu, kedudukan LPD atau linggih-nya di desa adat banyak belum dipahami, padahal LPD adalah milik desa adat, ada krama kedudukannya paling tinggi, kemudian pengurus desa adat , ada kertha desa, yang mengawasi, ada fungsi kontrol disana, sehingga pengurus LPD bekerja berdasarkan tata kelola yang telah diatur berdasarkan pararem,” tutup Doni.

Sementara, Ketua BKS-LPD Provinsi Bali, Nyoman Cendikiawan mengisahkan, 40 tahun keberadaan LPD Bali sejak tahun 1984 hingga 2024 sebagai fakta historis bahwa secara ekonomi LPD diakui dan didukung keberadaannya di Pulau Dewata, sehingga diperlukan pandangan bersama untuk melihat perkembangan dan eksistensinya ke depan.

Adanya sinergitas penguatan ekonomi desa adat bersama LPD akan memperkuat peran ekonomi lokal melalui kolaborasi strategis antara desa adat dan LPD, sehingga didapat formulasi dan cara pandang bersama menumbuhkan ekonomi berbasis desa yang lebih kuat. Tidak terlepas dari adanya dukungan pemerintah baik di daerah maupun pusat. Bermuara pada upaya mendorong lahirnya inovasi ekonomi di wilayah desa adat dengan utamanya UMKM,” tutur Cendikiawan yang juga Ketua LPD Desa Adat Telepud, Tegallalang, Gianyar ini.

Sebelumya, Plt Ketua PWI Bali I Wayan Dira Arsana dalam sambutannya menyampaikan, pers anggota PWI Bali dan komunitas pers seperti Forum Media Peduli LPD berkomitmen mendukung penuh bagaimana LPD bertransformasi dalam melakukan penguatan ekonomi kemasyarakatan di Bali.

“Pers dalam fungsinya sebagai penyambung informasi, kritik dan pendapat, tentu akan tetap menjalankan fungsi-fungsinya, sehingga ketika pers memberitakan yang baik tentang LPD, itu adalah sebuah dharma bakti pers untuk membangun penguatan persepsi terhadap LPD. Persepsi itu patut kita perkuat untuk membangun pengembangan LPD desa adat serta mengembangkan solidaritas desa adat di tengah destruksi pergerakan ekonomi saat ini,” urai Dira Arsana yang juga Pemred Bali Post ini. (213)

Sumber:https://barometerbali.com/2024/12/18/kuatkan-perekonomian-desa-adat-lpd-harus-bertransformasi-dan-direkalibrasi/