07 October 2025 oleh bali
Diskusi publik bertajuk “Kolom Agama di KTP – Perlukah?” yang digagas oleh Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia, Asosiasi Pendeta Indonesia, dan Simposium Setara Menata Bangsa menjadi salah satu forum yang mengingatkan kita bahwa isu “kolom agama” bukan sekadar perdebatan administratif, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana negara memahami manusia sebagai warga dan sebagai makhluk beriman. Dalam konteks ini, saya hadir bukan sekadar sebagai moderator diskusi, tetapi sebagai seorang akademisi yang mencoba membaca fenomena ini melalui lensa rasional, humanis, dan konstitusional.
Polemik kolom agama pada KTP selalu menggoda karena ia menyentuh simpul paling sensitif dalam kehidupan sosial kita — identitas. Kartu Tanda Penduduk, pada hakikatnya, adalah representasi administratif seseorang di mata negara. Namun, begitu kolom “agama” dicantumkan, ia berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam: sebuah deklarasi eksistensial yang menandai siapa kita di tengah masyarakat majemuk. Di sinilah kita sering kali terjebak antara dua kutub, antara hak individu dan kebutuhan negara, antara humanisme universal dan politik identitas.
Sejarah yang Tidak Bisa Dilupakan
Sebagaimana diuraikan oleh Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna (AWK) dalam forum tersebut, sejarah keberagamaan di Nusantara telah mengalami berbagai fase tekanan dan adaptasi. Periode Orde Baru, misalnya, menjadi era di mana negara melakukan “penyeragaman iman” dengan mewajibkan setiap warga untuk memilih salah satu dari lima agama resmi. Banyak penganut kepercayaan lokal akhirnya “bernaung” di bawah agama besar demi memperoleh pengakuan administratif, bukan karena keyakinan berubah, tetapi karena sistem memaksanya demikian.
Dari sudut pandang sosiologis, ini adalah bentuk asimilasi paksa yang lahir dari kekhawatiran negara terhadap pluralitas yang tidak terkontrol. Namun secara filosofis, tindakan itu adalah bentuk reduksi spiritualitas: menjadikan iman sebagai kategori administratif. Ketika seseorang harus memilih agama karena kebutuhan politik, maka negara sedang menundukkan iman di bawah logika birokrasi.
AWK dengan jujur mengakui bahwa Hindu Dharma mendapat tambahan umat karena situasi itu, tetapi ia menolak untuk menilai fenomena ini dari sisi “angka.” Ia memilih posisi moral yang luhur: lebih baik sedikit tapi sejati, daripada banyak tapi semu. Dalam kalimatnya yang reflektif, ia menyatakan bahwa umat Hindu tak keberatan jika para penghayat kepercayaan yang dulu berlindung di bawah Hindu kini kembali pada akar kepercayaannya. Pandangan ini menandai kedewasaan spiritual, suatu pengakuan bahwa kebenaran iman tidak lahir dari statistik, melainkan dari kesadaran batin manusia.
Konstitusi sebagai Jalan Tengah
Konstitusi Indonesia, dalam Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945, dengan jelas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 menjadi tonggak penting karena mengembalikan hak penghayat kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya di KTP dan Kartu Keluarga. Ini bukan hanya kemenangan administratif, tetapi juga kemenangan filosofis: negara mengakui bahwa iman tidak harus bersumber dari enam agama besar.
Namun, pengakuan konstitusional itu belum sepenuhnya diikuti oleh perubahan mental sosial. Diskriminasi masih ada, baik dalam pelayanan publik maupun dalam interaksi sosial. Kolom agama yang seharusnya menjadi alat identifikasi justru sering kali menjadi alat kategorisasi. Ia memisahkan, bukan menyatukan. Ia menandai, bukan melindungi.
Karena itu, meski secara hukum kolom agama kini terbuka bagi penghayat kepercayaan, secara sosial kita masih berjarak dari cita-cita humanisme konstitusional. Pengakuan hukum belum tentu diikuti oleh penerimaan sosial. Di sinilah kita membutuhkan literasi keberagamaan baru — literasi yang tidak berhenti pada toleransi pasif, tetapi melangkah menuju rekognisi aktif: menghargai perbedaan bukan karena diwajibkan, tetapi karena dipahami.
Humanisme dan Rasionalitas Negara
Menarik ketika AWK mengaitkan kolom agama dengan dimensi kemanusiaan dalam situasi darurat, misalnya saat kecelakaan, bencana, atau kematian. Ia menilai bahwa kolom agama membantu memastikan perlakuan jenazah sesuai keyakinan. Argumen ini, meskipun tampak pragmatis, sesungguhnya berakar dalam pandangan metafisik tentang kesatuan tubuh dan jiwa. Di sini, humanisme tidak berarti menghapus identitas, melainkan memastikan bahwa setiap manusia diperlakukan dengan hormat sesuai keyakinannya.
Namun, argumen kemanusiaan ini juga membuka paradoks. Jika kolom agama diperlukan demi kemanusiaan, maka kita mesti memastikan bahwa ia tidak menjadi sumber ketidakmanusiawian. Fakta-fakta diskriminatif di lapangan, seperti kesulitan minoritas dalam mengakses layanan publik, atau kasus sweeping KTP di daerah konflik, membuktikan bahwa kolom ini bisa menjadi alat eksklusi. Maka, tugas moral negara adalah menjamin agar instrumen administratif tidak berubah menjadi senjata sosial.
Kementerian Agama dan Realitas Struktural
Penanggap diskusi, Yohanis Henukh, menyoroti aspek struktural yang tak kalah penting: selama negara masih memiliki Kementerian Agama, maka kolom agama di KTP belum bisa dihapus. Pandangan ini mungkin terdengar birokratis, tetapi sangat rasional. Kementerian Agama adalah representasi formal dari politik keagamaan negara. Ia mengatur anggaran, pendidikan, dan birokrasi keagamaan. Menghapus kolom agama berarti mengguncang fondasi administratif yang menopang kementerian itu.
Dengan demikian, penghapusan kolom agama bukan hanya keputusan moral, tetapi juga reformasi sistemik. Ia membutuhkan revisi undang-undang lintas sektor: dari UU Administrasi Kependudukan hingga UU Statistik dan UU Keuangan Negara. Maka benar kata AWK, jalan menuju negara yang sepenuhnya sekuler-administratif bukanlah sprint, tetapi maraton peradaban. Butuh kesabaran historis.
Politik Angka dan Krisis Makna
Salah satu kritik paling tajam terhadap keberadaan kolom agama datang dari kesadaran akan “politik angka.” Data agama dalam sensus sering dijadikan dasar alokasi anggaran dan kekuasaan simbolik. Agama-agama besar mendapat ruang lebih besar di struktur birokrasi, sementara agama minoritas dan penghayat kepercayaan kerap terpinggirkan. Di sini, angka menjadi alat legitimasi, bukan representasi.
Inilah bahaya paling filosofis dari kolom agama: ketika iman dikalkulasi, maka spiritualitas direduksi menjadi statistik. Padahal, esensi beragama bukan tentang seberapa banyak penganutnya, melainkan seberapa manusiawi nilai yang ia bawa. Jika keberagamaan diukur dari jumlah, maka negara tanpa sadar sedang membangun “teologi mayoritas” sebuah sistem nilai yang mengorbankan keunikan iman minoritas.
Fasilitasi Negara dan Kenyamanan Agama Lokal
Pemaparan tentang posisi agama lokal di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan bahwa Indonesia sesungguhnya telah memiliki model kebijakan yang lebih “lunak” dan inklusif. Dengan tidak menempatkan penghayat kepercayaan di bawah Kementerian Agama, negara memberi ruang spiritualitas non-doktriner untuk tumbuh tanpa tekanan teologis.
Menarik bahwa para penghayat justru merasa lebih “tenang” di bawah Kemendikbud. Mereka tidak menuntut hari raya nasional atau fasilitas politik anggaran. Mereka hanya ingin diakui dan dihormati. Ini menunjukkan tingkat spiritualitas yang matang: keimanan yang tidak bergantung pada validasi negara. Dalam konteks ini, mungkin justru agama-agama besar yang perlu belajar, bahwa spiritualitas sejati tidak membutuhkan panggung politik.
Menuju Reformasi Administrasi yang Beradab
Pertanyaan kritis muncul: mungkinkah informasi agama tetap disimpan secara internal dalam database negara tanpa harus dicetak di KTP, seperti di banyak negara lain? Dari sisi teknologi administrasi, jawabannya jelas: bisa. Tetapi dari sisi sosial-politik, jawabannya belum. Indonesia belum sampai pada tahap kedewasaan sosial di mana identitas keagamaan bisa sepenuhnya diprivatisasi tanpa menimbulkan kecurigaan.
Karena itu, langkah paling realistis saat ini bukan menghapus kolom agama, tetapi memurnikan fungsinya. Kolom agama harus dimaknai ulang — bukan sebagai tanda keanggotaan dalam kelompok mayoritas, tetapi sebagai pengakuan terhadap martabat iman seseorang. Negara harus memastikan bahwa informasi itu hanya digunakan untuk tujuan yang sah: pencatatan sipil, pemakaman, atau urusan hukum keagamaan, bukan untuk menentukan siapa yang layak diterima kerja, siapa yang boleh menikah, atau siapa yang dianggap “berbeda.”
Negara, Iman, dan Kemanusiaan
Diskusi ini menunjukkan satu hal mendasar: persoalan kolom agama bukanlah persoalan teknis, melainkan cermin kedewasaan bangsa dalam mengelola keberagaman. Kita sering mengira bahwa menulis agama di KTP adalah hal sepele, padahal di balik selembar kartu itu tersimpan sejarah panjang relasi kuasa antara negara, agama, dan manusia.
Sebagai akademisi, saya melihat bahwa perdebatan ini belum selesai, dan memang tidak perlu segera diselesaikan. Sebab, yang kita butuhkan bukan jawaban final, melainkan kesadaran kolektif untuk terus meninjau ulang relasi antara iman dan administrasi. Kolom agama, dalam pengertian terdalamnya, adalah refleksi tentang sejauh mana negara mempercayai warganya untuk beriman secara bebas, dan sejauh mana kita sebagai warga mampu menghormati iman orang lain tanpa harus melihat apa yang tertulis di selembar kartu identitas.
Mungkin suatu hari nanti, ketika bangsa ini telah cukup dewasa secara literasi spiritual dan politik, kolom agama di KTP tak lagi dibutuhkan. Bukan karena kita menolak iman, tetapi karena iman sudah menjadi bagian dari kesadaran publik yang tak perlu lagi dikontrol negara. Tetapi untuk saat ini, seperti disimpulkan oleh para narasumber, kolom itu masih perlu, bukan sebagai simbol kekuasaan, melainkan sebagai jembatan kemanusiaan di tengah transisi menuju masyarakat yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika.
Sumber: https://faktual.net/kolom-agama-di-ktp-antara-identitas-humanisme-dan-rasionalitas-konstitusi/